top of page

SENJA DI KOTA COLMAR





Aku menghela nafas panjang seraya terus berjalan, menatap tiap sudut kota yang begitu indah. Colmar, kota kecil di Perancis ini begitu indah dengan bangunan autentiknya yang kuno. Berbagai macam hiasan yang berwarna-warni disajikan pada tiap bangunan menghasilkan perpaduan yang elok. Tanaman dan dedaunan diubah menjadi sebuah pajangan yang mempesona di berbagai sudut kota. Aku terus berjalan sampai terhenti di sebuah jembatan kecil dengan sungai di bawahnya. Kanal-kanal kecil dari sungai mengalir di antara bangunan dan bunga-bunga yang penuh warna. Terlihat juga perahu kecil menyusuri kanal untuk menikmati indahnya warna-warni bunga di sepanjang jalan serta hiasan yang unik pada tiap bangunan.

Aku menatap keindahan ini dengan penuh kepasrahan. Hatiku yang sudah terlanjur gusar terus menolak suasana negeri dongeng yang menakjubkan ini. Mengapa aku tidak memeluknya di saat-saat terakhirnya? Mengapa ego ini menguasai diriku di saat yang tidak tepat? Mengapa ayah memilih untuk pergi meninggalkan dunia ini? Mengapa Tuhan sangat tidak adil?


Berbagai pertanyaan terus mengusik kepalaku seakan-akan banyak orang meneriakkannya ke telingaku bersamaan. Seakan-akan pergi ke penghujung dunia dapat menyelesaikan segalanya, aku tetap berusaha melarikan diri dari kenyataan yang begitu pahit. Bertanya-tanya apakah aku sanggup memaafkan diriku walau sedetik saja.


“Ayu?” Tiba-tiba sebuah suara yang tak asing sontak membuatku menoleh ke arahnya. Rupanya suara itu berasal dari Gilang. Gilang, teman SMA ku dulu. Gilang yang tak pernah belajar tetapi selalu mendapat hasil yang tidak jelek-jelek amat di setiap ulangannya. Gilang yang selalu ceria walau situasi seburuk badai salju. Terkadang aku bertanya-tanya apa yang ada di pikiran pria jangkung ini.


“Hai, udah berapa lama ga ketemu?” Aku pun menjawab sekedar basa-basi

Hmm, 10 tahunan mungkin? Lama juga ya hehee.. Kenapa yu kamu ke sini?”

“Ayahku baru saja meninggal.”

Ohh…, maaf yu”

It’s okay. Aku rasa aku hanya ingin melarikan diri dari segalanya, melihat hal-hal baru, menjernihkan pikirkan. Yah seperti itu lah…”

Hmmm... Kau tahu apa yang kusuka dari tempat ini? Lihatlah itu..” Gilang menunjuk matahari yang baru saja akan melenyapkan dirinya ke bagian dunia lain.

“Senja. Bukankah begitu indah?” Gilang meneruskan, ada senyuman tipis terbentuk di kedua ujung mulutnya seakan-akan semua masalah sirna hanya dengan melihat sebuah matahari yang tenggelam.


“Kau tahu, tidak peduli berapa kali pun matahari tenggelam meninggalkan satu bagian bumi ia selalu kembali dengan megahnya, seakan-akan itu adalah pertama kali ia menampakkan dirinya pada manusia. Sinarnya yang menghangatkan merupakan sumber energi bagi semua makhluk hidup di bawahnya. Hanya dengan satu sumber ia memberikan kita semua penerangan dan kehangatan. Bukankah itu merupakan suatu hal yang indah?”

Aku mendengarkan Gilang berbicara. Kata demi kata. Aneh bagaimana sebuah definisi dari senja menjadi sebuah topik yang menarik baginya.


“Aku rasa ayahmu tau semua penyesalanmu yu. Ia pasti memaafkan dan selalu mencintaimu, apapun yang terjadi, karena itulah yang dilakukan orang tua. Sama seperti senja, walaupun ia meninggalkanmu ia akan selalu menyertaimu, di dalam hatimu, memberikan penerangan yang tiada henti.”


Kring kringg …. Alarm dari handphone Gilang tiba-tiba saja berbunyi.

“Ah, maaf yu aku harus pergi. Anyway, aku sangat senang bisa bertemu denganmu. Jangan patah semangat, sampai jumpa dilain kesempatan ya!”

Gilang pun pergi meninggalkanku sendirian.

--

Sudah 4 tahun berlalu sejak senja di Colmar. Hingga saat ini kurasa takdir memilih untuk tidak mempertemukanku dengan Gilang. Samar-samar ingatan di hari itu. Aku ingat punggung Gilang, jalan terburu-buru entah apa yang menunggunya. Aku ingat dengan jaket tebalnya berwarna hitam dan celana yang agak kebesaran, kian menjauh meninggalkanku seorang diri. Apa pun yang terjadi, kurasa hari itu telah mengubah bagaimana caraku memandang kehidupan yang fana ini. Apa pun itu, kurasa aku memilih untuk mempercayai perkataan Gilang di hari itu. Sebuah pertemuan yang tidak sengaja entah mengapa berhasil memberikanku secercah harapan. Layaknya sebuah senja di kota Colmar yang memberikan tambahan keindahan pada sebuah kota yang sudah mempesona.

47 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page